Wednesday, May 29, 2013

Kisah Budaya Luhur Bangsa China

Budaya Tiongkok klasik merupakan berkah dari langit untuk manusia. Inti utama budaya Tiongkok klasik memuat kepercayaan ortodoks, prinsip etika, nilai moral, tata cara dan prosedur, jalan hidup, kebiasaan dan adat, seni budaya dan lainnya.
Ideologi dibaliknya berakar pada pemikiran dan teori Konfusianisme, Buddhisme dan Taoisme. Jadi, budaya ini mengandung arti yang mendalam. Tujuan artikel ini adalah membahas sedikit dari konsep-konsep tersebut, seperti integrasi antara manusia dan alam, indahnya keselarasan, dan nilai-nilai kehidupan.
1. Akar Budaya
Frase “wen hua” (budaya) pertama kali muncul dalam buku Yi Shu. Frase ini tersurat dalam kalimat, “Amati astronomi untuk melihat perubahan, beri perhatian pada kemanusiaan untuk mempengaruhi dunia.” Konsep astronomi, letak geografis dan kemanusiaan dianggap sangat penting dalam tradisi Tiongkok. Langit, bumi dan manusia dipandang sebagai 3 potensi.
Berkenaan dengan fenomena astronomi, pada bagian pertama “Huang Di Shu”, disebutkan “Amati Tao langit, lakoni pada kehidupan nyata, dan itulah semua yang perlu dilakukan seseorang.” Itu berarti jika orang-orang dapat mengamati dengan jelas fenomena langit dan membakukan moral sosial dengan perilaku individu, maka itu sudah sempurna.
Di buku Shuo Wen, disebutkan, “Fenomena Tao dinamai “wen; “hua" berarti pembelajaran,” yang berarti mengajarkan masyarakat berdasarkan fenomena astronomi, yang juga merupakan asal dari budaya. Di sini, frase “kemanusiaan” dan “astronomi” disebutkan bersama untuk mengindikasikan bahwa prinsip dan norma di dunia manusia harus sesuai dengan hukum langit dan prinsip-prinsip semesta.
Dalam sejarah, orang suci, orang bijak dan kultivator yang sadar dan melakoni kebenaran, berbuat sesuai perintah langit. Dalam hal ini mereka mengkultivasi diri mereka sendiri, membuktikan Tao dan mengajarkan orang-orang. Menurut catatan sejarah, Fuxinshi menciptakan Trigram Delapan sedangkan Shennongshi menemukan bahan obat-obatan dengan menguji lebih dari ratusan jenis bahan herbal dan rumput-rumputan. Yao, Shun dan Yu memerintah dengan bijak dan membimbing orang-orang untuk menjalankan kehendak langit. Kaisar Wen dari dinasti Zhou dapat memprediksi kejadian masa depan dengan akurat. Laozi mewariskan budaya klasik, seperti Buku Perubahan yang merekam pola reguler langit dan bumi, yin dan yang, alam semesta, masyarat dan kehidupan manusia. Konfusius menghadirkan budaya Konfusianis, untuk menjaga kedamaian dan kesejahteraan negara. Masyarakat Tiongkok percaya bahwa Konfusianisme, Buddhisme dan Taoisme menciptakan sebuah sistem moral stabil yang membentuk fondasi bagi kehidupan yang berkelanjutan, stabilitas dan harmoni.
2. Inti Utama dan Nilai-Nilai Budaya Tiongkok Klasik
Ajaran Konfusianisme, Buddhisme dan Taoisme membentuk inti kebudayaan Tiongkok kuno, yang tidak hanya mempengaruhi kelakuan dan mental orang-orang, tetapi juga membangun kepercayaan umum dan integritas bangsa Tionghoa. Karakter nasional yang terefleksi pada budaya Tionghoa termasuk penghormatan pada langit dan dewa-dewa, norma susila dan “kebenaran”, di mana aliran Buddha menekankan pada “belas kasih”. Konfusianisme menitikberatkan pada “kasih sayang, keadilan, tata aturan, kebijakan dan kepercayaan.” Semua ini merefleksikan pencarian orang-orang dalam memahami esensi hidup dan pencerahan, dan juga jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti, dari mana asal manusia, ke mana manusia kembali, adakah arti yang lebih tinggi dari hidup dan nilai tak terbatas, bagaimana orang-orang harus berbuat, dan bagaimana cara meningkatkan kondisi moral ke tingkat Buddha, Tao dan Dewa-Dewa.
Dalam hal spesifik, sejarah 24 dinasti Tiongkok adalah koleksi biografi dari kebenaran dan kepercayaan, dicirikan dengan contoh yang menunjukkan “seseorang tidak boleh melakukan hal tak bermoral walaupun kaya, tidak boleh tergerak walaupun dalam keadaan miskin, dan tidak boleh tenggelam pada kekuasaan dan kekuatan militer.” Titik acuan moral kebudayaan klasik adalah norma dan tumpuan peningkatan spiritual, yang tidak hanya berfungsi sebagai sumber spiritual tak terbatas untuk generasi selanjutnya, tetapi juga berkontribusi secara langsung pada perkembangan dan kemajuan kesusastraan klasik Tiongkok, musik, seni lukis, kaligrafi dan berbagai jenis seni. Arti yang lebih mendalam dari wajah moral Tiongkok kuno hanya dapat dimengerti dan dialami melalui peningkatan spiritual dan moral yang berpikiran lurus.
Kepercayaan dan kekuatan moralitas klasik dapat mengakhiri konflik dan pertikaian hidup, serta menciptakan sebuah kedamaian yang mendalam. Di tengah kesulitan dan urusan dunia yang kacau, kekuatan ini memungkinkan orang-orang untuk memiliki sepetak tanah murni di jiwa mereka dan mempertahankan ketenangan ini. Di hadapan konflik antara kepentingan pribadi dan moralitas, kekuatan ini juga membuat manusia mampu mempertahankan garis batas moralitas sehingga mereka tidak tersesat dan bingung, tidak menghianati niat dan kesadaran, tidak tenggelam ke tingkat rendah, dan selalu melihat harapan. Jika orang-orang mampu mematut diri terhadap prinsip langit, mereka bahkan mampu menjadi orang suci, manusia bijak, dewa, buddha yang membuktikan kebenaran Tao, menyelamatkan mahluk hidup, dan menjadi abadi. Jika moral masyarakat merosot, tidak murni, maka kekuatan negatif akan menemukan jalannya untuk mengarahkan orang ke jalan sesat.
3. Ciri Khas Kebudayaan Klasik
Budaya 5000 tahun bangsa Tiongkok telah mewarnai keseluruhan peradaban manusia. Ia telah menampilkan kekuatan agung dalam hal integritas dan daya hidup. Luas ruang lingkupnya terefleksi pada prinsip budaya keberagaman dan keterbukaan, dan ini telah berfungsi menciptakan pengaturan spesial dan tradisi “menggabungkan berbagai hal yang berbeda sifat”  dan “menjadi toleran terhadap berbagai tipe orang”. Budaya ini berpijak pada prinsip “mempertahankan keharmonisan sambil menerima perbedaan” dan “melihat fondasi yang sama sambil mempertahankan perbedaan”. Semangat melihat dunia luar dengan kebijakan mendalam dan prinsip “harmoni” sepenuhnya terefleksi pada doktrin Tao “tanpa usaha”, gagasan Konfusian “kasih sayang dan kebenaran”, dan semangat aliran Buddha ”belas kasih ”. Ini sesuai dengan yang disampaikan Laozi, “yang paling lembut dapat menangani yang paling keras,”menjadi gunung yang tinggi tanpa menolak bantuan bumi. Membentuk laut luas tanpa meninggalkan aliran kecil.” Pada jaman Dinasti Tang yang makmur, politik sangatlah tertib,keadaan ekonomi sejahtera dan budaya berpikiran terbuka. Saat prinsip-prinsip Konfusianisme, Buddhisme dan Taoisme diperkenalkan secara terbuka, hal tersebut memungkinkan masyarakat menjaga standard moral yang tinggi, mencapai kecemerlangan yang menarik perhatian dunia dan mempengaruhi berbagai negara.
4. Esensi Kebudayaan Klasik
A. Pandangan universal dari “penyatuan alam dan manusia”
“Alam dan manusia terintegrasi menjadi satu.” Ini merupakan inti dari ideologi Tiongkok klasik, dan Ia telah memainkan peran utama dalam budaya Tiongkok klasik. Pandangan ini telah membawa dampak signifikan pada area seperti nilai moral dan estetis. Buku Perubahan mendefinisikan langit, bumi dan manusia sebagai “tiga elemen utama”. Buku Perubahan juga mengatakan, “perubahan berarti kelahiran yang tak berakhir” dan “kebajikan terbesar dari langit dan bumi adalah penciptaan mereka atas hidup.” Manusia harus “melanjutkan kebaikan” langit dan bumi, “membentuk sifat” langit dan bumi, “ruang” diciptakan oleh langit dan bumi, “menjadi berpengetahuan tentang semua hal, dan menggunakan Tao demi kebaikan dunia,” jadi mencapai “keadaan murni di mana alam dan manusia terintegrasi menjadi satu.”
Kebudayaan klasik memegang kehendak Tuhan dengan hormat, percaya bahwa langit menciptakan manusia dan semua hal, dan memberkati mereka dengan kebajikan dan sifat baik hati. Hal ini juga membentuk hukum. Langit dan manusia terhubung satu sama lain, saling berkomunikasi dan tergabung menjadi satu. Konfusius berkata saat membuat kesimpulan tentang hidupnya, “ Saya memutuskan untuk belajar di usia 15, mencari jati diri di usia 30, menjadi tercerahkan di usia 40 tahun, dan pada umur 50 tahun, saya tahu tentang kehendak Tuhan..” Mencius berkata, “menjaga hati yang bersih dan memupuk sifat yang diberikan Tuhan, ini adalah cara untuk melayani langit.” Baik aliran Buddha maupun Tao berbicara tentang siklus kehidupan dan percaya pada samsara. Selain itu kedua aliran ini yakin bahwa kebaikan dan kejahatan akan menemui takdir mereka. Pada bagian “Yue Shu” dari Catatan Sejarah Agung disebutkan bahwa “Langit dan manusia terhubung satu sama lain, seperti hubungan antara tubuh, bayangannya dan udara. Seperti halnya jika seseorang menanam melon, Ia akan memperoleh melon, dan jika Ia menanam kacang, Ia akan mendapat kacang. Ini adalah sebuah sifat alam. Jadi, ketika seseorang terhubung dengan Tao langit, Ia dapat memahami hubungan di antara manusia.
Kaisar-kaisar pada jaman Tiongkok kuno menekankan pentingnya menghaturkan persembahan kepada dewa-dewa dan menyanyikan pujian tentang pengaruh dan bimbingan dari Langit dan Bumi. Memenuhi perintah Langit dianggap sebagai perbuatan bajik, dan orang-orang akan diberi hadiah jika melakukannya. Sebaliknya, jika melakukan yang tidak baik, mereka akan dihukum oleh Langit. Orang suci dengan gembira menjalankan Tao, tanpa meletakkan pengejaran pribadi mereka sebagai prioritas utama. Jika seseorang melakukan hal baik untuk memperoleh keberuntungan, maka telah ada sifat egois dalam hatinya. Jadi, kehendak Langit harus dikerjakan sebaik-baiknya, tanpa pengejaran terhadap perolehan pribadi sedikitpun. Adalah kewajiban semua orang untuk melakukan perbuatan baik dan menolak kejahatan, dan jika seseorang dengan hati yang tulus, mencoba melakukan hal ini, Langit akan tergerak oleh usahanya.
B.” Mempertahankan Doktrin Jalan Tengah” dan “Mencapai Harmoni”
Dalam buku Doktrin Jalan Tengah, disebutkan, “Mempertahankan doktrin jalan tengah adalah hal yang paling fundamental di dunia. Mencapai keadaan selaras akan membuat jalur menjadi jernih dan mulus. Ketika keselarasan dicapai, Langit dan Bumi akan ada pada keadaan yang benar dan semua hal akan tumbuh.” Teori mendasar dari Doktrin Jalan Tengah adalah konsep integrasi alam dan manusia menjadi satu. Ini juga menjadi prinsip untuk kultivasi moral. Konfusianisme percaya bahwa semua konflik antara semua hal dengan diri sendiri, antara orang-orang dengan diri sendiri, antara logika dan keinginan, harus ditangani dengan prinsip doktrin jalan tengah dan dengan menjaga keselarasan. Hal tersebut bertujuan untuk mencapai keadaan yang tulus dan penuh kasih. Kemudian, Langit, Bumi dan semua hal akan memainkan perannya masing-masing dan semuanya akan mencapai kondisi yang harmonis.
Konfusius berkata, “manusia sejati menjaga doktrin jalan tengah, sedangkan orang jahat berjalan melawannya. Alasan manusia sejati melakoni doktrin jalan tengah adalah karena Ia dalam keadaan itu setiap saat, Ia tidak melakukan lebih atau kurang. Orang jahat melawan doktrin jalan tengah, karena Ia tidak jujur dan selalu bergerak ke sisi ekstrem.”
Zhu Xi berkata, “berjalan di jalur tengah adalah hal yang benar dan jalur tengah sempurna adalah hukum yang pasti.” Dalam Lun Yu disebutkan, “di dalam aplikasi tata cara, hal yang paling berharga adalah menjaga keselarasan. Dari berbagai jalan yang diambil di masa lampau, ini adalah yang paling berharga.” Penguasa di masa lampau menetapkan upacara dan menciptakan musik untuk mengatur perilaku masyarakat dan mendidik negara. Mereka menganggap menjaga keselarasan dunia sesuai kehendak langit adalah misi sejarah mereka. Bangsa Cina, sejak jaman dahulu kala, mementingkan “menjaga harmoni” dan menghormati jalan tengah sempurna. Mereka berpegang pada belas kasih dan kebajikan untuk menjaga dunia agar tetap harmonis. Lagu Yeshi bercerita dalam Doktrin Jalan Tengah, “Orang kuno melaksanakan jalur tengah, maka Langit dan Bumi memainkan peran mereka, semua hal tumbuh berkembang. Kaisar-kaisar dan pejabat yang mengikuti prinsip ini termasuk Yao, Shun, Yu, Tang, Wen dan Wu. Jika kamu berbuat hal yang sama, maka perbuatan tercela tidak akan menemukan tempat untuk menyusup.
Orang jaman dulu menaruh perhatian pada keselarasan antara manusia, langit dan bumi. Berkenaan dengan hubungan interpersonal, Xunzi juga mengedepankan konsep “Tao kolektif”. Ia percaya bahwa alasan orang-orang bisa hidup bersama adalah karena adanya peran yang berbeda serta adanya moralitas dan keadilan. Seseorang tidak boleh menyakiti orang lain demi kepentingan pribadi. Tiap orang harus saling menjaga, baik dan toleran terhadap orang lain. Prinsip Konfusian dalam menangani hubungan interpersonal adalah kasih saying, keadilan, tata cara, kebijakan dan kepercayaan. Prinsip-prinsip seperti “belas kasih,” “jangan lakukan pada orang lain hal yang tidak ingin kamu lakukan pada diri sendiri,” “ingat apa yang benar di hadapan keuntungan pribadi,” dan “jika orang-orang tidak punya kepercayaan pada seseorang, tidak akan ada dukungan untuk orang tersebut,” menjadi nilai-nilai tradisional bangsa Tiongkok.
C. Nilai-nilai Kehidupan
Di buku Shi Daya Zhengmin, dinyatakan, “Langit menciptakan banyak orang. Ada berbagai hal dan prinsip. Sifat alami manusia datang dari sifat langit.” Dari sudut pandang universal “alam dan manusia tergabung menjadi satu,” prinsip budaya Tiongkok kuno menyarankan orang untuk memulai sesuatu dengan menyempurnakan diri sendiri terlebih dahulu. “Dari kaisar sampai orang umum, semua harus memperlakukan kultivasi diri sebagai yang utama.” Dipercaya bahwa manusia mampu mencapai kondisi “alam dan manusia tergabung menjadi satu” melalu kultivasi. Kemudian, mereka akan mampu berkomunikasi secara langsung dengan Tao dan Dewa-dewa. Ajaran Konfusius menyarankan “kultivasi-diri, aturan keluarga dan pengaturan yang baik untuk menjaga kedamaian dan keselarasan di bumi.” Walaupun dalam kesendirian, Konfusius menasihati agar orang-orang menjaga diri dengan baik. Selain itu, orang-orang harus senantiasa melakukan introspeksi diri, menerima pendapat orang lain, bermartabat, berbuat lurus dan tidak melewati prinsip-prinsip. Zhu Xi percaya bahwa seorang yang berjiwa ksatria harus tahu tata krama, memiliki hati yang lurus dan tulus. Aliran Tao menitikberatkan pada usaha untuk menjadi manusia sejati, berkultivasi untuk kembali ke diri sejati. Aliran Buddha menekankan pada kultivasi belas kasih, dengan tujuan akhir mencapai dunia Buddha.
Budaya Tiongkok kuno memberi perhatian pada kasih sayang, untuk memenuhi kehendak Langit, agar terbentuk hidup yang sederhana tetapi bajik, ketat mematut diri namun toleran terhadap orang lain, dan senantiasa berpikir dan menolong orang lain. Lao Zi member nasihat bahwa seseorang harus berlaku sesuai Tao, berbuat sesuai prinsip, menyesuaikan perbuatan sesuai keadaan, membiarkan segala sesuatu berjalan secara alami, tetap tenang dan toleran.
Konfusius percaya bahwa orang-orang harus menunjukkan belas kasih yang sama pada tiap orang. Mencius berkata, “perbuatan bajik tertinggi dari seorang ksatria adalah dengan bersikap baik pada orang lain.” Pada kebudayaan Tiongkok klasik, ajaran dan konsep Konfusianisme, Buddhisme dan Taoisme berakar dalam pada bangsa Tiongkok dari satu generasi ke generasi yang lain. Orang-orang menganggap pencarian kebenaran dan kebajikan adalah yang paling penting sehingga mereka tetap teguh pada prinsip tak peduli keadaan yang dihadapi.
Zhuanzi pernah berkata, “Orang yang bermartabat mirip Dewa. Dia tidak akan merasakan panas, jika danau terbakar. Tidak akan merasa dingin jika sungai membeku dan tidak akan tergerak di hadapan petir dan angin yang menakutkan.” Selama ribuan tahun, tak terhitung orang dengan kebajikan yang mulia dipuja secara luas, contohnya adalah Tao Yuanming, yang menolak perbuatan tercela demi keuntungan pribadi, Zhu Geliang, yang mampu melihat masa depan, Yue Fei, yang termasyhur karena kesetiaannya pada Negara, Lu You, yang senantiasa penuh perhatian pada rakyatnya. Orang-orang ini adalah tulang punggung bangsa Tiongkok. Mereka melampaui kehilangan dan perolehan pribadi. Mereka berhati lurus dan tak korup, perhatian terhadap rakyat dan setiap kepada negara. Perbuatan mulia mereka terekam dalam sejarah dan berkilauan selama ribuan tahun. Nilai-nilai dan pencarian terhadap kebenaran itulah yang mendorong bangsa Tiongkok melewati kesulitan dan rintangan dalam sejarah yang panjang.
Kebudayaan klasik diwariskan kepada manusia oleh kekuatan Illahi, sedangkan manusia diciptakan oleh Tuhan. Inti dari kepercayaan tradisional adalah untuk mengajarkan orang-orang agar menjadi manusia yang baik dan berbuat sesuai hukum alam semesta. Jadi, pada akhirnya dapat mencapai keadaan harmoni antara manusia dengan alam semesta. Tujuan kebudayaan Illahi terletak pada fungsinya dalam membimbing manusia dalam menilai segala hal terhadap standard moral. Sehingga, manusia mampu dengan hati lurus memahami prinsip-prinsip yang mendefinisikan “baik dan buruk” dan “kebenaran dan kebatilan.” Ini juga mendorong orang untuk mengejar kebenaran sehingga diri mereka memperoleh masa depan yang indah. Nilai moral dan arti mendalam dari kebudayaan ini bahkan berisikan makna lebih luas dan misi suci dalam sejarah. (Erabaru/ana)

No comments:

Post a Comment