Memasuki usia empat puluh orang baru akan mengerti bahwa
sahabat karib hendaknya saling mengagumi, bukanlah saling memanfaatkan.
Sahabat karib hanya dapat terjadi dalam lapisan yang
sama. Orang miskin dan orang kaya, rakyat jelata dan pejabat tinggi,
rakyat kecil dan selebriti, orang buta huruf dan orang terpelajar
selamanya tidak dapat bersahabat akrab dalam arti yang sesungguhnya.
Karena bila tidak berada dalam lapisan yang sama, selamanya tidak akan
dapat mengerti dan memahami secara mendalam temannya tersebut.
Setelah
usia empat puluh, orang baru mengerti: nasi hendaknya dimakan sesuap
demi sesuap, pekerjaan hendaknya dikerjakan sedikit demi sedikit. Tidak
ada suatu tujuan yang dapat dicapai hanya dalam satu langkah, oleh
sebab itu tidak seharusnya terlalu lelah karena terlalu sibuk. Pada
usia setengah baya hendaknya hidup dengan tidak tergesa-gesa.
Setelah
usia empat puluh, orang baru mengerti: segala sesuatu bersifat ganda,
kadang kala bahkan ada yang tidak mengandung benar-salah, apa yang Anda
anggap salah, bagi orang lain mungkin benar. Sedangkan yang Anda
perjuangkan dengan segenap tenaga justru sangat mungkin adalah apa
yang ingin dicampakkan dan ditinggalkan orang lain.
Setelah usia
empat puluh orang baru akan mengerti: baik buruknya kualitas hidup,
seluruhnya ditentukan oleh mentalitas diri sendiri. Makanan mahal dan
nikmat dalam pesta pora, bila hanya untuk menyembunyikan maksud saling
menipu, jauh tidak senyaman duduk dengan sahabat karib mengobrolkan
hal-hal biasa dengan ditemani teh tawar. Menempuh kehidupan bercocok
tanam sambil menikmati keindahan panorama pegunungan, jauh lebih nyaman
bila dibandingkan dengan kedudukan tinggi dan penghasilan besar bila
miskin kebijakan, dan selalu was-was dalam menjalankan kewajiban.
Setelah
usia empat puluh orang baru bisa mengerti: pasangan hidup kita
kelihatannya biasa-biasa tidak ada yang istimewa, bahkan terkadang
merasa kesal tak tertahankan, sebenarnya sang waktu telah membaurkannya
menjadi satu, meskipun terdapat kebiasaan yang jelek dan tabiat yang
kasar juga telah menjadi bagian kehidupan kita sendiri. Bila pada suatu
hari Anda benar-benar mengoyakkan pernikahan yang tidak indah itu, maka
akan ditemukan bahwa setiap koyak-an telah terhubung dengan kulit dan
tulang-daging kita sendiri.
Setelah usia empat puluh orang baru
akan mengerti: memanjakan anak adalah seperti lemak dan gula darah
berlebihan yang akan merusak kesehatan mereka, kita takut mereka
menempuh jalan yang memutar. Kita khawatir mereka mengalami kesusahan,
kita cemas mereka akan mengalami cobaan dan penderitaan. Segenap
keluarga telah mendirikan tenda besar baginya, kemudian hanya menatap
dengan pandangan kosong pertumbuhannya yang lemah.
Setelah usia
empat puluh orang baru akan mengerti: hendaknya tidak melakukan
kebodohan dengan memelihara orang tua secara pelit namun mengubur mereka
dengan royal, tempaan yang mereka alami selama hidup sudah terlalu
banyak, memperlakukan mereka dengan baik adalah memperlakukan nurani
kita sendiri dengan baik.
Mengenai perlakuan, orang tua
kebanyakan sangat menyayangi uang, namun perlu pertimbangan masak agar
sesuatu dapat diselesaikan dengan sempurna. Misalnya: dapat membeli sup
sarang burung kelas satu di restoran lalu mengatakan kepada orang tua
bahwa telah dibelikan sup jamur seharga 20ribu di kedai!
Kemudian
memandang mereka menikmatinya dengan bahagia, sesungguhnya kebanyakan
waktu mereka tidak membutuhkan kemuliaan dan kemakmuran Anda, setiap
minggu tanyakan pengalaman mereka saat masih muda, lalu dengarkan cerita
mereka, ini sudahlah cukup.
Setelah usia empat puluh orang baru
akan mengerti: jabatan hanyalah sebuah gelas, sedangkan kultivasi diri
dan karakter moral Anda barulah merupakan isi dari gelas tersebut,
gelas kristal yang gemerlapan belum tentu berisikan anggur bagus,
mungkin juga berisikan air keruh; cangkir tembikar kasar belum tentu
berisikan air putih, sangat mungkin berisikan seduhan teh Longjing
kelas wahid.
Mutu di dalamnya seluruhnya tergantung pada peruntungan dan usaha diri Anda! (Chen Chen / The Epoch Times / prm)
sumber :http://www.epochtimes.co.id/kehidupan.php?id=725
No comments:
Post a Comment